Rabu, 10 Oktober 2012

Tulisan Penduduk Masyarakat dan Kebudayaan

Rambu Solo, Upacara Adat Tanah Toraja



          Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 600.000 jiwa. Sebagian dari mereka menetap di sebagian dataran Luwu dan Sulwesi Barat.

          Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti “orang yang berdiam di negeri pegunungan”. Sedang orang Luwu menyebutkan To Riajang yang artinya “orang yang berdiam diri di sebelah barat”. Versi lain mengatakan Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang-orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal dengan Tana Toraja.
          Setiap daerah pasti mempunyai tradisi menghormati kematian. Tanah Toraja salah satu daerah di Indonesia yang masih kental adat istiadatnya. Untuk ke Tanah Toraja sendiri kita perlu menghabiskan waktu kurang lebih delapan jam menggunakan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum dari Kota Makassar.
          Rambusolo adalah sebuah peninggalan tradisi Tanah Toraja. Rambusolo itu sendiri adalah upacara yang bertujuan untuk menghormati dan menghantarkan arwah orang meninggal yang kita kasihi menuju alam roh ke tempat peristirahatan. Upacara adat ini dilaksanakan dengan meriah, karena memerlukan waktu berhari-hari. Dengan kata lain upacara ini dilakukan sebagai penyempurnaan kematian, karena orang yang meninggal benar-benar dianggap meninggal setelah proses upacara ini selesai. Jika belum, orang yang meninggal tersebut hanya dianggap orang yang sakit atau lemah, sehingga orang meninggal tersebut diperlakukan layaknya orang hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi makan serta minuman.
Oleh karena itu, upacara ini dianggap sangat penting bagi masyarakat sekitar. Sehingga upacara Rambu Solo menjadi kewajiban, sebagai bentuk pengabdian kepada orang tua yang telah meninggal.
          Jenazah diusung menggunakan duba-duba (keranda khas Toraja). Di depan duba-duba terdapat lamba-lamba (kain merah panjang, dimana kain tersebut ditarik oleh para wanita dalam keluarga itu).
Prosesi pengarakan dilaksanakan setelah ibadah dan makan siang. Barulah keluarga dekat mengusung keranda tersebut. Dimana keranda tersebut hanya diangkat oleh para laki-laki.
Dalam perarakan kita akan melihat orang yang membawa gong sangat besar, lalu diikuti dengan tompi saratu (umbul-umbul), lalu terdapat barisan tedong (kerbau) diikuti dengan lamba-lamba dan sebagai penutup barisan duba-duba.
          Upacara ini akan berlanjut ke tahap selanjutnya yang disebut dengan upacara Rante, dilaksanakan di sebuah lapangan khusus dimana di lapangan tersebut sudah berdiri lantang (rumah sementara yang terbuat dari kayu dan bambu) yang sudah diberi nomor. Lantang itu sendiri berfungsi sebagai tempat tinggal para sanak keluarga yang akan datang nantinya. Karena dalam upacara ini berlangsung mereka akan tinggal bersama, tidak kembali ke rumah masing-masing tetapi menginap di lantang yang telah disediakan oleh keluarga yang sedang berduka.
          Ketika iring-iringan jenazah sampai di Rante jenazah akan diletakkan di Lakkien (menara tempat disemayamkannya jenazah selama prosesi berlangsung). Menara itu merupakan bangunan yang paling tinggi diantara lantang-lantang yang ada di Rante. Lakkien sendiri terbuat dari pohon bambu dengan bentuk rumah adat Toraja.
          Dalam upacara Rante ini kita dapat melihat berbagai ritual, seperti pembungkusan jenazah, pembubuhan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah hingga proses pengusungan jenazah. Yang lebih menarik adalah saat penyembelihan kerbau dengan cara menebas leher kerbau tersebut dengan sekali tebasan. Kerbau yang disembelih adalah jenis kerbau bule (tedong bonga), bisa dikatakan untuk menyembelih kerbau kita harus mengeluarkan biaya yang cukup banyak. Mulai dari puluhan juta hingga ratusan juta per ekornya.
          Selama beberapa hari ke depan diadakan kegiatan penerimaan tamu dan adu kerbau. Penerimaan tamu terus dilaksanakan sampai semua tamu-tamunya berada di tempat yang telah disediakan yaitu Lantang yang berada di Rante. Sore harinya selalu diadakan adu kerbau, hal ini merupakan hiburan yang digemari oleh masyarakat Tana Toraja hingga sampai pada hari penguburan. Baik itu yang dikuburkan di tebing maupun yang di patane’ (kuburan dari kayu berbentuk rumah adat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ikuti @baddyisme